“Jagalah Hati.. Jangan Kau Kotori.. Jagalah Hati.. Pelita Hidup Ini!”
IKHLAS…
Satu kata yang mudah dilafaz oleh lidah, namun tidak mudah diaplikasi
dalam ibadah dan ‘amalan sehari-hari. Ikhlas itu adalah rahsia di
sebalik rahsia yang sifatnya highly confidential
di antara makhluk dengan KhaliqNya yang Maha Agung yakni Allah SWT.
Hanya dirinya sendiri yang mengetahuinya dan pastinya Allah Azza Wajalla
itu Maha Tahu. Ada satu perumpamaan tentang ikhlas.. “Ikhlas itu
seumpama seekor semut hitam, yang berkaca mata hitam, di atas batu yang
hitam, di malam yang gelap-gelita. Tiada siapa yang tahu dan melihatnya
kecuali Allah!” Maka, utamakanlah pandangan Allah daripada pandangan
manusia..
Jika melihat buah durian
Tentu ngeri lihat kulitnya
Jelas memang duri luarnya
Tapi ternyata manis isinya
Begitu pun menilai orang
Jangan dilihat dari kulitnya
Yang kita sangka madu
Isinya malah racun
Yang kita sangka racun
Isinya malah madu
Jangan menyangka orang lain buruk
Siapa tahu kita lebih buruk dari dia
Jangan menyangka orang lain rosak
Siapa tahu kita lebih rosak dari dia
Jika ada manusia yang nampak hitam
Kita jangan terus melabelkan dia hitam
Sebab di alam fana segala berubah
Dalam satu detik manusia boleh berubah
Yang tadinya hitam akan jadi putih
Yang tadinya putih akan menjadi hitam
Bimbinglah yang hitam untuk jadi putih
Jagalah yang putih biar tetap putih!
“Jagalah Allah, Allah pasti menjagamu!”
Prof. Dr. Yusof Al-Qaradhawi
telah menjelaskan tentang perihal ini di dalam perbahasannya berkenaan
“Keutamaan Amalan Hati Ke Atas Amalan Badan”. Bersamalah kita membaca
dan mengambil manfaat darinya, semoga ada khairnya demi kecemerlangan
duniawi dan ukhrawi, mudah-mudahan.
DI ANTARA
amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan agama ialah amalan
batiniah yang dilakukan oleh hati manusia. Ia lebih diutamakan daripada
amalan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan, dengan beberapa
alasan:
Pertama:
Kerana sesungguhnya amalan yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh
Allah SWT selama tidak disertai dengan amalan batin yang merupakan dasar
bagi diterimanya amalan lahiriah itu, iaitu niat; sebagaimana
disabdakan oleh Nabi s.a.w. :
“Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat.” [1]
Arti niat ini
ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan dunia. Niat yang murni
untuk Allah SWT. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan
itu murni untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya:
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya.” [2]
Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan, Allah SWT berfirman,
“Aku
adalah sekutu yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa
melakukan suatu amalan kemudian dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang
lain, maka Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Maka dia akan menjadi milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya.” [3]
Kedua:
Kerana hati merupakan hakikat manusia, sekaligus menjadi cermin
kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan
bahwasanya Nabi s.a.w bersabda,
“Ketahuilah
sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia
baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah
seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.” [4]
Nabi s.a.w
menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah, dan
perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang dinilai oleh-Nya. Kerananya,
Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan
menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka
secara otomatik amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh
baginda,
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.” [5]
No comments:
Post a Comment