Suatu ketika, Abu Umamah Al-Bahili RA (W. 86H), salah seorang sahabat setia Nabi asal Syam (Suriah) bercerita, ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa pendapat Tuan ketika melihat seseorang yang berperang, tapi mendapatkan upah dan ketenaran?” Nabi SAW menjawab, ”Dia tidak mendapatkan apa-apa!” Laki-laki itu bertanya lagi hingga tiga kali, dan jawaban Rasulullah pun tetap tidak berubah. Akhirnya, Nabi SAW berkata untuk yang terakhir kalinya, ”Sesungguhnya Allah tidak menerima amal seseorang tanpa ia ikhlas melakukannya dan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah.” (HR An-Nasai).
Salah satu ciri orang munafik, seperti disebutkan Rasulullah dalam hadis lain, adalah mereka merasa malas untuk beramal positif. Digambarkan oleh beliau, ketika mereka akan mengerjakan shalat, mereka melakukannya dengan berat hati karena terpaksa. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT,”Sesungguhnya orang-orang munafik mencoba menipu Allah, padahal Allahlah yang paling kuasa menipu mereka. Dan, apabila mereka beranjak akan mengerjakan shalat, mereka merasa berat hati (malas). Dan ketika mereka melakukannya, mereka berharap apa yang mereka lakukan dilihat dan diperhatikan oleh orang lain. Mereka juga tidak mengingat Allah kecuali hanya sebentar (sedikit) saja.” (An-Nisa: 142).
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa sifat munafik bisa saja melekat pada diri kita, ketika kita tidak menyandarkan segala amal ibadah semata-mata karena Allah, tapi karena untuk hal lain. Misalnya, untuk ketenaran, supaya mendapat pujian, agar kita dianggap sebagai orang saleh, dan sebagainya.
Orang yang tidak ikhlas beramal sebenarnya sama saja dengan mencoba menipu Allah, padahal sejatinya mereka telah menipu diri sendiri. Allah Mahatahu apa yang ada dalam hati setiap hamba-Nya. Tidak ada yang tersembunyi sedikit pun dari pengawasan-Nya.
Ikhlas dan tidaknya seseorang dalam beramal tidak akan diketahui secara lahiriyah, karena ia ada dalam wilayah hati. Hanya Allah SWT dan diri kita sendiri yang tahu. Makanya, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang seorang pejuang yang dengan gagah berani berperang menaklukkan musuh, tapi dia melakukan itu hanya untuk mendapatkan gaji atau upah, atau semata-mata untuk mendapatkan ketenaran, semua itu tidak ada nilainya di sisi Allah. Allah hanya menilai keikhlasan hamba-Nya.
Ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT, ‘‘Dan mereka tidaklah diperintahkan selain agar menyembah Allah semata dengan ikhlas hati dan menjalankan agama dengan benar. Mengerjakan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang kokoh (tegak).” (Al-Bayyinah: 6). Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment