Dikisahkan bahwa setelah pihak Quraisy meninggalkan medan Uhud dengan penuh kemenangan, Nabi SAW dan para sahabatnya kembali ke lembah Uhud guna mengambil jenazah para syuhada untuk dikuburkan. Saat itulah Nabi SAW secara khusus pergi mencari jenazah pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Ketika beliau menemukan jenazah Hamzah dalam keadaan terkoyak, beliau tertunduk. Dari pelupuk matanya mengalir air mata tak henti-hentinya. Dengan suara bergetar menahan kepedihan, beliau berkata, ”Tidak pernah kusaksikan seseorang yang mengalami malapetaka seperti engkau ini, wahai pamanku. Belum pernah aku saksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti peristiwa kematianmu ini.”
Lalu, turunlah firman Allah yang menegur sikap Nabi SAW, ”Dan jika kamu melakukan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, maka kesabaranmu itu lebih baik bagimu. Dan hendaklah kamu tabahkan hatimu, dan hendaklah ketabahan hatimu itu karena berpegang kepada Allah. Jangan pula kamu bersedih hati terhadap perbuatan mereka. Jangan pula kamu bersesak dada terhadap apa yang mereka rencanakan.” (QS 16: 126-127).
Setelah teguran itu, Nabi SAW mengumpulkan kaum Muslimin dan menyampaikan pidato yang berisi larangan melampiaskan amarah dan dendam dengan melakukan penganiayaan biadab terhadap mayat-mayat musuh.
Dalam Islam, sikap menahan amarah mempunyai posisi yang sangat signifikan. Menahan amarah akan menjadikan seseorang sanggup menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dalam bentuk apa pun. Sedemikian pentingnya sikap menahan amarah, Nabi SAW ketika didatangi oleh seorang sahabatnya yang memintanya untuk memberi wasiat, beliau hanya berkata, ”Janganlah kamu melampiaskan amarah.” Dan itu diulanginya lebih dari satu kali. (HR Bukhari).
Sikap menahan amarah merupakan salah satu karakteristik orang bertakwa yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai penghuni surga. Ini berarti bahwa ketakwaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menahan amarah yang dapat merugikan orang lain. Orang yang mampu menahan amarah berarti ia telah mampu meleburkan dirinya ke dalam diri orang lain dan membuang jauh-jauh sifat egoisnya.
Allah SWT berfirman, ”Yaitu, orang-orang yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mampu menahan amarah dan memberi maaf kepada manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 3: 134). Kemampuan menahan amarah menjadi faktor penting dalam menciptakan suasana damai dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment